Kelam Malam
”Rumbra! Kamu telat tahu!” aku berteriak, tidak lain kepada sosok yang semakin mendekat dari kejauhan, sosok itu terlihat cukup mencolok untuk di definisikan dalam kebiruan yang hampir 11/12 dengan pakaian yang ia kenakan. Rambut pirangnya yang berkibar hebat, pakaian biru tuanya yang terlihat langsung di ekspor oleh jasa kurir antar periode waktu, tidak lain adalah teman dekatku yang polos-Rumbra.
”Eis!” ia berteriak dari kejauhan, sosoknya yang terlihat samar, kini semakin terlihat batas-batas warna tubuhnya.
Terasa tatapan-tatapan mata yang penasaran terarah kepadaku, akupun dengan spontan menatap kembali tatapan-tatapan itu. Seketika semua tatapan itu berpencar, memandang kepada hal-hal yang mereka bisa temukan pertama kali. Hmph, kalian kira aku tidak sadar? Yah sejujurnya itu adalah sesuatu yang normal saja, dua orang berteriak kepada sama lain secara tiba-tiba, pasti akan menarik perhatian orang-orang yang penasaran. Tapi aku tidak suka di tatap seperti itu, maaf ya!
”Haah-haah…ahh” terdengar suara desahan nafas mendekat kepadaku, aku melirik ke arah desahan nafas tersebut, tak perlu bersusah payah menolehkan kepalaku, sudah dapat dipastikan siapa pemilik suara itu.
”Ahaha, jadi…apa aku terlambat?” gadis berambut pirang itu berkata dengan kepolosan hatinya. Ya ampun, lihatlah wajahnya yang tersenyum seperti tidak bersalah, aku tidak dapat melihat jiwanya tapi aku harap ia masih memiliki rasa bersalah di dalam sana.
”Menurutmu?” aku berkata singkat dan tegas, mengirimkan jawaban yang jelas secara samar-samar.
”Um…” aku memandangnya, dapat di perhatikan kebiruan bola matanya terlihat memalingkan pandanganya dariku tanganya menarik rok birunya kebawah. Akupun mengalihkan pandanganku kepada tanganya yang kurus, jauh lebih kurus dariku, menunggu pergerakan dari tanganya. Benar saja, tanganya bergerak.
“Nah, nah. Hentikan kebiasaan burukmu itu”, aku bersuara dengan tegas, seiriringan dengan gerakan tanganku untuk menghentikan pergerakan tanganya yang rapuh nan ringkih.
”Ah!” ia bersuara kecil, temanku itu terlihat terkejut, bola matanya yang biru indah menyusut seketika, namun dengan cepat kembali kepada ukuran normalnya. Ia dengan cepat menarik tanganya, aku juga melepaskan tanganya pada saat yang sama, “M-maaf, aku…lupa” ia berkata.
Aku menghela nafas, “Ya sudah, yang penting kamu sudah datang…walaupun terlambat-sangat, terlambat”, aku berhenti sejenak, mengamati reaksi si pirang yang merupakan temanku itu, dapat terlihat ia mengangguk lemah, matanya memandang kebawah dunia. Seketika aku merasa bersalah telah melakukan itu kepada temanku itu, aku harusnya tau lebih baik dari siapapun kemampuan Rum.
Terdorong oleh hati kecilku, tanganku bergerak, perlahan-lahan menuju kumpulan utaian rambur pirangnya, mengelusnya dengan perlahan. “Hei,hei, tidak usah menangis begitu. Aku tidak marah kok”, aku berkata polos, aku tidak dapat mendengar suaraku dengan baik di sini, namun aku harap aku terdengar serius namun tulus.
”…Sungguh?” mata birunya menatap mataku, ia benar-benar ingin mengetahui jawaban akan pertanyaannya.
”Iya, sungguh” aku berkata singkat.
Dia tersenyum, Rum tersenyum. Ya ampun, polosnya. Terkadang aku khawatir untukmu kalau kamu terus menerus begini terus, aku tidak akan selalu berada di dekatmu kamu tau, dan…aku rasa titik waktu itu sudah cukup dekat, suatu waktu nanti, kamu harus bisa berdiri diatas kakimu sendiri, Rum.
Tapi untuk sekarang, aku masih berada di sampingmu, “Baiklah Rum, saatnya untuk membantuku bekerja, kamu tau akan itu kan setidaknya?” aku bertanya sesuatu yang tak perlu ditanyakan, seharunya, namun ketika kamu memasukan Rum kedalam faktor yang kamu perhitungkan. Sesuatu yang jelas mungkin menjadi tidak dapat di definisikan-dengan kata lain menjadi tidak terlalu jelas.
”Tentu! Aku yang berjanji kan?” suaranya yang ceria berkata. Oh, dia ingat kalau ia berjanji, hanya saja ia datang terlambat, aku tau betapa sulitnya memenuhi perkataanmu dibanding ketika kamu mengatakanya.
”Bagus Rum, aku bisa mempercayaimu untuk mengatasi bagian kasir kan? Kamu tau, aku kesulitan memasak dan mengatasi keuangan secara bersamaan.” aku berkata sesuai apa yang aku alami. Aku bisa memasak, tapi berkomunikasi dengan lemah lembut seperti apa yang seharusnya seorang kasir lakukan? Ahaha…tidak.
”Baik!” dengan antusias, ia berjalan menuju gerai makananku dan berdiri tepat di depan. Letak geraiku berada cukup dekat dengan pohon Ardeu, jika kita lihat melihat tepat dari jalur masuk kedalam area pohon Ardeu-yang sebenarnya tidak luas, ini karena pohon Ardeu sendiri berada di dalam sebuah cekungan tanah yang dalamnya kurang lebih 30 meter ke dalam dan luasnya 150×150 meter, dibanding berada di sebuah lapangan luas yang datar.
Akupun berjalan menuju ‘dapur dadakan’ ku, yang hanya terdiri dari sebuah meja, dan sebuah kompor. Kompor itu menggunakan panas nuklir sebagai sumber utama panasnya, di dalam kompor itu terdapat kompartemen kecil, sekecil satu tablet obat, yang di dalamanya terdapat setitik subtansi nuklir. Subtansi nuklirnya sendiri sudah di modifikasi untuk bisa bertahan lama dan tidak berbahaya jika tablet kecil itu hancur, kalau tidak salah kompor itu bisa bertahan 5 tahun lamanya jika dijaga dengan baik.
Terdapat sebuah ember menampung air yang mengisinya sampai hampir penuh. Akupun mengangkatnya dan memasukanya kepada kompor melalui sebuah tabung kecil, yang berbentuk sama dengan tabung yang digunakan pengendara motor untuk mengisi kembali motornya di pinggir jalan. Tentunya kompor nuklir tersebut perlu air untuk panasnya.
Aku melirik sejenak ke arah staff keuanganku, Rum terlihat berdiri dengan manis di depan gerai makananku. Seharusnya bukan dia menyandang tugas ini, sayangnya hari ini karyawanku yang seharusnya mengurus hal ini tidak dapat datang, sakit. Rum mengetahui hal ini, dengan kepolosanya dia mengajukan dirinya untuk menggantikan karyawanku sampai dia sembuh, ia bahkan berjanji untuk hal itu, janji kelingking.
Aku menghela nafas, sejujurnya, membuatnya menjadi kasir bagi usahaku adalah hal terakhir yang ingin aku lakukan. Aku mengenalnya dengan baik, dan itu termasuk mengenal kemampuanya dalam berkomunikasi. Dia termasuk orang yang pemalu, dapat terlihat dari kebiasaanya menggigit kuku jarinya ketika ia merasa tidak nyaman, kurasa aku tidak perlu menjelaskan kenapa Rum tidak cocok dengan posisinya sekarang. Tapi tidak hanya itu masalahnya, ia…terlalu polos, terlalu kekanak-kanakan untuk umurnya sekarang yang berangka 18.
Tapi bukan berarti dia tidak memiliki kelebihanya sendiri. Aku rasa orang manapun yang memiliki mata, ketika melirik kepadanya bisa setuju akan satu hal: Gadis itu cantik. Jujur saja, Rum memiliki wajah dan poros yang cantik dan memukau, kecantikanya seperti tidak berasal dari bumi, ia terlalu cantik untuk dunia ini. Kebiruan matanya dan pirangnya rambutnya seperti sengaja diberikan kepadanya untuk bisa menjadi perwujudan kecantikan itu sendiri. Sayangnya, ketika kamu melihat kebawah, seketika kamu akan menyadari kalau ia memiliki tubuh yang ringkih dan rapuh, kurusnya tubuhnya bahkan cukup memperihatinkan, ia terlihat kalau ia tidak pernah makan selama entah berapa tahun.
Semua itu…semua itu karena kedua orang tuanya, yang tidak pernah peduli kepada berkah kehidupan yang diturunkan kepada mereka berdua. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan kepadanya, tapi satu hal yang pasti-mereka menelantarkan Rum. Karena itulah Rum sering sekali bermain dan bermalam di rumahku dibanding di rumahnya sendiri. Ketika aku membicarakan perihal keluarganya, Rum tidak pernah mau membicarakan kedua orang tuanya, dan selalu menghindar dari pertanyaanku, baik dengan mengalihkan pandanganya dan diam, mengganti topik pembicaraan, mengamuk tanpa kendali, atau bahkan kabur dari rumahku. Entah kemana ia pergi, tidak mungkin dia pergi kembali ke rumahnya-jadi kemana? Entahlah.
Namun, semua itu berbanding terbalik ketika aku bertanya perihal tentang kakak perempuanya, reaksinya jauh berbeda, ketika membicarakan tentang kakak perempuanya, ia menjawabnya dengan penuh kebahagiaan, dan penuh percaya diri. Ia membicarakan kakaknya seperti orang yang sombong ketika membicarakan perihal prestasi dan kekayaanya. Bedanya ia menjawabnya dengan penuh ketulusan hati dan kepolosanya. Menggunakan informasi bahwa ia merespon dua pertanyaan itu dengan berbeda, aku-tidak, kurasa semua orang dapat menyimpulkan bahwa: Ia lebih dekat dengan kakaknya dan menyanyangi kakanya setulus hatinya. Perwujudan adik kecil yang semua manusia ingin miliki ya?
”Eis? Ada pelanggan,” Ah! Aku terkejut, sepertinya aku telah terbawa oleh aliran sungai pikiranku sendiri, sampai-sampai aku tidak sadar bahwa sudah terdapat 3 orang yang mengantri untuk makananku, menunggu dia meja-meja kecil yang telah aku siapkan, sepertinya itu akan bertambah sebentar lagi. “Mereka meminta basreng 2 porsi dan sosis 3 tusuk”, Ia berkata. Yah, sepertinya aku harus mulai bekerja. Lakukan yang terbaik, Rum.