Kastil Malam
”Mrhm…mmhh……” Ah…,apa ini? Rasanya…panas. Merasa terganggu dengan apapun yang sekarang sedang membakar kulit dan tulangku, aku membnuka tirai penutup mataku. Kelopak mataku yang tertutup kini bergerak, menampakkan birunya mataku kepada semesta.
Terlihat partikel-partikel cahaya merayap masuk melewati celah-celah tirai hitam jendelaku. Hm? Sudah pagi? Ahh…kurasa…ada hal yang penting yang perlu aku lakukan, tapi…aku tidak dapat mengingatnya. Karena ingatanku yang sangat terbatas, aku menutup mataku lagi, mencoba kembali tidur.
”Raim! Raimbra! Bangun ayo sayang!” terdengar suara yang familiar memasuki telingaku. Aku masih ingin tidur…
“Raim! Bukanya adik udah janjian dengan Eisa?”
Ah.
ITU DIA!!!
Dengan instan, aku beranjak dari kasurku, mengambil baju biruku yang kugantung dibalik pintu kamarku, kamar yang berukuran 3.5×3.5 meter. Aku menghantam pintu kamarku dan segera melejit ke dalam kamar mandi yang terletak di 2 meter dari posisiku dalam ruang ini.
Terlihat Ibu yang sedang memasak diruang sebelah kaget melihatku, tentu saja, suara pintu yang menghantam tembok rumah bukanlah suara yanng merdu, kurasa mengatakan ‘ya ampun’ tapi aku tidak dapat mendengarnya dengan baik.
”Hyup!” aku membuka pintu kamar mandi. Dengan cepat aku melepas seluruh kain yang menutup pakaianku, yang hanya terdiri dari tiga kain sebenarnya. Yang pertama adalah kain baju tidurku yang memiliki warna putih, tentunya memiliki panjang yang cukup untuk menutup seluruh tubuhku dari dadaku sampai lututku, bahkan lenganku tertutup dengan baik oleh pakaian itu. Yang kedua? Pakaian dalamku-begitu juga untuk yang ketiga. Aku rasa aku tidak perlu mendeskripsikan pakaian dalamku.
Setelah melepas pakaianku, kulitku yang putih terbuka untuk siapapun yang ada di dalam kamar mandi yang sama-diriku. Akupun berjalan kearah ember plastik yang didalamnya menampung air dan sebuah gayung plastik kecil yang berwarna merah. Sekilas, terlihat pantulan wajah yang tidak asing, wajah yang memiliki mata berwarna biru, yang dihiasi olehg rambut pirang panjang yang terlihat panjangnya melebihi pundak pemilik wajah itu-aku.
”Wahhh! Segarnya” seiring dengan aku mengatakan itu, terdengar suara air yang jatuh menghantam lantai kamar mandi kecil itu. Kamar mandinya sendiri tidak luas, namun terasa luas-salahkan itu kepada warna putih yang mendominasi ruang di dalam kamar mandi ini, mulai dari langit-langit, temboknya, sampai lantainya sendiri. Kupikir itu cara yang pintar untuk memanipulasi ruang tanpa secara langsung memanipulasi konsepnya sendiri, atau…memanipulasi persepsi dan pandangan manusia? Eh, entahlah. Bukan hal yang penting untuk sekarang.
Terasa dinginya air alam membasahi kulitku dan sekujur tubuhku, terasa dinginya dan segarnya menembus daging dan tulangku. Mandi di pagi hari memang terasa berbeda dan waktu yang terbaik untuk mandi, rasanya seperti awal yang baru setiap kali aku membasahi tubuhku dengan kedinginan alami Ibu Bumi.
“Wuah…” setelah membasahi dan membersihkan seluruh tubuhku yang ramping, aku memandang potongan kaca yang yang terpaku di dinding kamar mandi yang putih itu, terlihat sebuah sosok yang aku kenal dengan baik, aku bisa melihat wajahnya dan tubuhnya dengan baik, terlihat bahwa ia memiliki tubuh yang berumur sekitar 18 tahun, rambut pirangnya yang menyentuh punggunya terlihat berantakan walau telah di banjiri oleh kebasahan yang dingin. Itu adalah aku, Rumbra Arimu, anak terakhir dari dua bersaudara.
Ah! Apa yang aku lakukan? Aku harus bergegas pakai bajuku supaya tidak telat! Dengan itu aku mengambil pakaianku yang terletak dibawah potongan kaca itu, di atas sebuah meja kayu yang tidak memiliki kaki meja, hanya sebuah papan yang terpaku terhadap dinding kamar mandi. Hmmm…, kalau begitu apakah yang kupanggil ‘meja’ itu adalah meja? Eh, aku malas memikirkannya.
Akupun mengenakan pakaianku, pakaianku yang berwarna biru tua, banyak yang mengatakan bahwa birunya pakaianku memiliki kemiripan dengan birunya para anggota keluarga kerajaan, para bangsawan-singkatnya, beberapa mengatakan kalau aku ingin halu, ingin menjadi anggota bangsawan, atau merasa menjadi orang tinggi dalam hierarki semesta alam. Yah, aku tidak peduli, aku hanya ingin mengenakan pakaian ini karena aku memang suka dengan warna dan desain bajuku.
Kebiruan mataku terus menatap pantulan kebiruan yang sama. Aku menghela nafas, dan kemudian mengatakan, “Selamat datang! Apa yang bisa aku bantu?” aku berbicara dengan pantulanku itu, tentunya aku tidak berharap kalau ia akan menjawab-sejujurnya akan mengerikan kalau pantulan itu menjawab. Akupun melihat pantulanku, terlihat bahwa ia tersenyum, membentuk sebuah bulan sabit yang merentang dari ujung pipi ke ujung satunya. Aku rasa itu sudah cukup bagus, aku harap aku tidak mempermalukan Eis dengan ini.
Jebrak!
Terdengar suara kayu menghantam batu bata, suara yang aku hempaskan ketika aku membuka pintu kayu kamar mandi tanpa memegangnya-dengan kata lain aku menendangnya.
Aku yakin aku mengangetkan ibuku, maaf bu, tapi anakmu memiliki sebuah janji yang harus ditepati, akupun berlari melintasi ruang makan, yang dilanjutkan oleh ruang tamu. Dengan cepat aku membuka pintu pembatas rumahku dengan dunia luar. Terdengar suara Ibuku berkata sesuatu yang tidak jelas, tapi aku yakin ibuku berkata “hati-hati di jalan nak!”. Ehehe, terimakasih bu. Aku sangat bersyukur bahwa Ibuku telah berubah jauh, jauhhh sekali. Tanpa sadar, aku tersenyum. Sejak 4 minggu lalu, Ibuku terasa lebih lemah lembu, lebih penyayang kepadaku, setelah entah berapa lama, aku akhirnya bisa merasakan pelukan hangat Ibunda ku. Oh…terimakasih.
Kebiruan mataku memandang ke depan, kepada pemandangan yang terhampar di depan rumahku dan diriku sendiri. Terlihat kebiruan dunia memasuki retina mataku, kiri dan kananku dipenuhi oleh sebuah dinding biru yang terbuat dengan bahan yang sama dengan tanah yang kutapaki. Sebuah panorama yang sudah aku lihat entah berapa kali, monoton.
Kedua kakiku terus menapaki tanah biru, tujuanku adalah bagian kota utama, kora Loire. Tanpa harus menunggu lama, aku melihat sesuatu di kejauhan, tentunya itu adalah hal yang aku ingin lihat, Sang kota Lorei itu sendiri. Namun, sepertinya ada yang berbeda, terlihat bahwa kota itu menampung sebuah keramaian, keramaian yang tentunya ramai…terlalu ramai.
Di kiri dan kanan terlihat rumah-rumah yang telah di modifikasi menjadi toko-toko untuk mencari penghasilan, entah berubah menjadi toko baju, toko senjata, rumah makan, dan lain-lain, terlihat teras-teras rumah mereka telah berubah sesuai dengan persepsi kesempurnaan pemilik rumah tersebut. Itu sesuatu yang normal menurutku, maksudku, siapa yang ingin privasinya berhadap-hadapan langsung dengan publik, bayangkan saja betapa sulitnya untuk tidur di sana. Jalan utama kota Loire itu sendiri terlihat dipenuhi kepadatan yang nampak dari jauh. Ugh, aku bisa terlambat karena ini-itu yang orang lain akan pikirkan. Untungnya, untuk mencapai tujuanku yang terletak di ujung cakrawala tidak mengharuskanku melewati jalan tersebut, ada jalan lain-jalan yang menantang namun lebih cepat. Teras-teras rumah.
”Hyah!”, tanpa berpikir panjang, aku melompat melewati pagar-pagar kecil toko-toko tersebut, dengan cepat aku melompati sebuah meja yang sepertinya menampung banyak hal diatasnya, aku tidak dapat melihatnya dengan baik karena aku lebih mementingkan hal apa yang penting bagi diriku, sesuatu hal seperti apa yang diatas meja itu tidak terlalu berdampak pada hidupku kan?
”HEI BAJINGAN!”, terdengar suara lelaki dewasa berteriak, tentunya kepada aku. Urf…menyebalkan, “MAU KEMANA KAMU HEI! JANGAN LARI!” suara lelaki itu dengan hebat menusuk telingaku. Jarak diantara aku dan pria lelaki yang kini sepertinya meneriakiku sudah cukup jauh, dikarenakan aku yang tidak berhenti berlari kencang, membelah angin.
Tapi tetap saja aku tidak suka diteriaki, teriakan bajingan seperti itu…aku tidak ingin mengingatnya! Dengan spontan aku berhenti dan menoleh kearah pemilik suara itu, suara yang tidak ingin aku dengar. Sebuah perasaan seketika mengaliri seluruh pembuluh darahku, sebuah perasaan yang mengganti seluruh sel darahku dengan sel-sel amarah dan kebencian.
”Wlee! Ga peduli! Berisik tau!”, aku mengaum kepadanya, seraya menarik kantong mataku dan menjulurkan lidahku yang merah muda. Kakiku dengan cepat melejit ke teras toko selanjutnya, berlari dan meningkatkan jarak diantara aku dan suara itu.
”BIADAB!”, terdengar teriakan yang berasal dari pria yang sama. Aku menggigit kuku ibu jariku. Oh…aku melakukanya lagi, aku harus berhenti. Aku tidak ingin rongga mulutku terkena infeksi yang aneh-aneh kan? Aku tau akan hal itu, namun, tanpa aku sadari aku selalu melakukan hal itu, kenapa?
Akupun menarik Ibu jariku dari mulutku seiring dengan gerakan kakiku yang bergesekan dengan angin. Jangan terbawa perasaan, aku harus fokus, fokus pada apa yang penting sekarang. Aku harus menemuinya, Eis, tunggu aku.
Tanah yang bercorak biru kembali mengisi persepsi manusiaku, terlihat tanah-tanah biru yang familiar, namun kali ini tanah-tanah tersebut ditemani oleh teman-teman kecil yang berjumlah banyak, hamparan rumput-rumput merah terbentang, menajalar jauh ke ujung cakrawala kebiruan. Pemandangan ini adalah salah satu hal yang selalu memukau pikiran kecilku, dari waktu ke waktu, aku selalu terpukau dengan indahnya perpaduan biru dan merah, sebuah warna yang terlihat menentang satu sama lain. Sekilas, kedua warna tersebut terlihat berbeda secara fundamental, mereka tidak akan bisa menyatu dengan satu sama lain. Iya, aku menjawab terhadap itu, mereka tidak akan bisa menyatu, tapi kurasa itulah yang membuatnya cantik dan menakjubkan, kenyataan bahwa sebuah hal yang terlihat bertentangan dapat hidup dengan harmoni dan tenang, tanpa harus menyingkirkan satu sama lain dalam konflik yang tidak berujung.
”Ahaha, apa aku dapat hidup harmoni seperti mereka?”