Dalam Malam

Tulisan

Jika ada yang namanya hari yang aman di Andapare, kurasa hari ini adalah hari itu. Tanpa adanya cahaya sang surya dan sang rembulan menyinari dunia ini, kami para penghuni Dunia Bawah-yang disebut Andapare. Entah kenapa, terasa hawa yang tidak biasa mengisi ruang dunia di dibalik celah-celah tanah bumi ini. Kurasa hawa yang asing, namun terasa lemah lembut ini dapat disalahkan kepada sebuah batang kekohohan yang mekar tepat pada hari ini. Sebuah pohon yang entah kapan terakhir kali mekar dalam sejarah semesta alam fisik.

Pohon Armeu, pohon yang sudah ada sejak awal kemunculan peradaban pertama kami di bumi. Pohon yang menjadi sanksi biksu akan segala sejarah yang pernah terjadi di Andapare. Pohon yang tidak pernah berwarna sejak pertama kali kami memandang kayunya yang menjulang tinggi ke langit. Kini telah memekarkan warnanya, membiarkan seluruh mata dunia jatuh cinta kepadanya.

Kurasa karena itulah, jalan-atau lorong-lorong Andapare terasa aman, tanpa adanya kejahatan atau makhluk-makhluk Andha yang melirik setiap pergerakanmu, menunggu saat yang tepat dimana engkau membiarkan nyawamu melayang keatas. Manusia juga terasa berbeda hari ini, mereka…lebih penyayang? Apa aku mengatakanya dengan benar? Entahlah, orang tua ku terasa lebih peduli kepadaku, lebih dari sebelumnya-dimana mereka tidak pernah peduli padaku…, entah kenapa itu membuatku sedih, bukanya seharusnya aku merasa bahagia bahwa mereka sudah berubah?

Karena itu, aku mengemban sebuah perjalanan, menuju tempat dimana pohon berkah itu berada, aku ingin mengetahui apa yang membuat kehidupan menjadi begitu menyayangi satu sama lain. Ini…tidak mungkin kan?

Pada tangal 20/10/22XX aku meninggalkan rumahku untuk menapaki jalan kepada kebenaran yang disembunyikan oleh merahnhya lapisan bunga Armeu yang indah-seperti…darah? Bagaimana darah bisa memikat hati dan jiwa kehidupan adalah sesuatu yang diluar logika biner manusia.

Pohon itu sendiri tidak berada terlalu jauh dari tempat tinggalku sekitar 20 Kilometer darisana, itulah kenapa kota kecil kami yang-sebelum mekarnya pohon itu-sepi karena letak geografisnya yang berada di ujung Andapare yang tidak memiliki apapun untuk dijual atau apapun yang menarik di sini. Kini menjadi penuh dengan lalu-lalang kehidupan, yah, itu bagus buat ekonomi daerahku dan aku tidak punya masalah dengan itu, jujur saja.

Aku memandang jam dinding kecil yang tergantung di dalam kamarku, kamar yang berukuran kurang lebih 3×3 meter, yang menampung barang-barangku yang tidak pernah aku urus-dengan kata lain berantakan, seperti telah dihantam tornado. Jarum-jarum besi yang jam tersebut terlihat menunujukan 12 dan 12. Tepat pada waktunya.

”Baiklah, kurasa inilah saatnya” aku berkata, dengan suaraku yang feminim nan redup. Tentunya aku tidak ingin membangunkan siapapun, dan aku tidak ingin adanya siapapun mengikutiku-terutama dia. Itulah kenapa aku menunggu titik waktu yang tepat ini.

Akupun beranjak dari kasurku, dan meraih perlengkapan-perlangkapanku yang aku taruh di dekat pintu di ujung kamarku yang satunya. Dengan perlahan-lahan, aku membuka pintu kayu kamarku, pintu yang membatasi duniaku dengan dunia luar, pintu yang membatasiku dengan kebenaran.

Related Posts