Musuh dalam Pikiran

Tulisan

Malam itu, Aulia duduk di meja belajarnya. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11 malam, tapi matanya masih terpaku pada layar laptop. Tugas presentasi yang harusnya sudah selesai sejak tadi malah belum dimulai. Tangannya memegang mouse, tapi pikirannya melayang entah ke mana.

“Bagaimana kalau aku salah ngomong besok?”
“Apa mereka akan menertawakanku?”
“Seandainya aku gagal, gimana kalau dosen kecewa?”

Pikiran-pikiran itu terus menghantui Aulia. Ia mencoba menenangkan diri, tapi semakin ia berusaha, semakin banyak skenario buruk yang muncul di kepalanya. Ia merasa seperti terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar.

Aulia memandang layar laptopnya yang kosong. Rasanya seperti ada beban berat di dadanya. Ia tahu ia harus mulai bekerja, tapi otaknya terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang bahkan belum terjadi. Akhirnya, ia menutup laptopnya dengan frustrasi.

“Kenapa aku selalu begini?” gumamnya pelan.


Keesokan harinya, Aulia memutuskan untuk curhat pada sahabatnya, Rani, saat istirahat di kampus. Rani mendengarkan dengan sabar, lalu berkata, “Aku ngerti kok, Li. Aku juga pernah ngerasa kayak gitu. Tapi, kamu tahu nggak? Overthinking itu cuma bikin kita capek sendiri. Kadang, hal yang kita takutkan itu nggak pernah terjadi.”

Aulia mengangguk pelan, meski masih ragu. “Tapi gimana caranya berhenti mikir terus?”

Rani tersenyum. “Coba deh, kamu tulis apa yang kamu pikirin. Kadang, kalau kita udah lihat semuanya di atas kertas, masalahnya jadi kelihatan lebih sederhana.”

Malamnya, Aulia mencoba saran Rani. Ia membuka buku catatan kecil dan mulai menulis semua kekhawatirannya. Pelan-pelan, ia merasa beban di pikirannya sedikit berkurang. Setelah selesai menulis, ia menutup bukunya dan mencoba fokus pada tugasnya.


Hari presentasi pun tiba. Aulia berdiri di depan kelas, memegang catatan kecil yang sudah ia siapkan. Jantungnya berdebar kencang, tapi ia mengingat kata-kata Rani, “Fokus aja sama hal yang bisa kamu kendalikan.”

Ia menarik napas dalam-dalam dan mulai berbicara. Meski ada sedikit kesalahan di tengah-tengah, ia berhasil menyelesaikan presentasinya dengan baik. Saat kembali ke tempat duduknya, ia merasa lega. Semua skenario buruk yang ia pikirkan malam-malam sebelumnya ternyata tidak terjadi.

Di akhir kelas, Rani menghampirinya. “Tuh kan, aku bilang juga apa. Kamu bisa, kok!”

Aulia tersenyum lebar. “Makasih, Ran. Aku belajar satu hal penting hari ini: overthinking itu cuma musuh dalam pikiran. Kalau aku nggak ngelawan, aku bakal terus kalah.”


Sejak hari itu, Aulia mulai menerapkan kebiasaan baru. Setiap kali ia merasa overthinking, ia akan menulis pikirannya, mengalihkan perhatian, atau berbicara dengan Rani. Perlahan tapi pasti, ia belajar mengendalikan pikirannya sendiri.

Musuh dalam pikirannya mungkin tidak akan pernah hilang sepenuhnya, tapi Aulia tahu, ia punya kekuatan untuk melawan.

Related Posts