Rapikan Pikiranmu Dalam 10 Menit
Hari itu terasa berat. Sejak pagi, pikiranku dipenuhi dengan daftar tugas yang tak ada habisnya. Kuliah, kerja, dan berbagai tanggung jawab lain membuat kepalaku terasa penuh. Aku duduk di meja, menatap layar laptop yang seolah-olah menertawakanku. “Dita, kamu butuh waktu untuk merapikan pikiran,” bisikku pada diri sendiri, mencoba meyakinkan diriku.
Aku memutuskan untuk mengambil napas dalam-dalam. “Coba deh, kita ambil sepuluh menit,” kataku, seolah berbicara pada teman. Suara dalam kepalaku menjawab, “Sepuluh menit? Cuma itu? Nggak ada yang bisa selesai dalam waktu segitu.”
“Justru itu yang perlu kita lakukan,” balasku dengan tegas. “Kita butuh momen untuk diri sendiri.”
Aku berdiri dan berjalan ke balkon apartemenku. Angin sepoi-sepoi menyapa wajahku, dan aku merasa sedikit lebih tenang. Di sana, aku bisa mendengar suara burung berkicau dan melihat langit yang cerah. “Oke, Dita. Apa yang ada di pikiranmu sekarang?” tanyaku pada diriku sendiri, sambil melihat ke arah pohon yang bergoyang lembut.
“Kerjaan, tugas kuliah, dan… oh, jangan lupa rencana liburan!” jawab suara itu, sedikit bersemangat. “Tapi semua itu bikin kepala kita jadi penuh.”
Aku tersenyum, menyadari betapa menyenangkannya berbicara dengan diriku sendiri. “Mari kita fokus pada satu hal dulu. Apa yang paling mendesak?” tanyaku lagi, merasa seolah sedang melakukan sesi konseling pribadi.
“Ujian minggu depan,” jawab suara itu. “Tapi juga ada presentasi di kelas, dan jangan lupakan deadline tugas yang mendekat.”
“Baiklah, mari kita buat rencana. Kita mulai dengan yang paling mendesak, tapi jangan lupa untuk memberi diri kita sedikit ruang untuk bernafas,” kataku, mulai merasa lebih terorganisir. “Kita bisa mengerjakan satu hal dalam satu waktu.”
Aku mengambil napkin yang ada di meja dan mulai menulis. Dalam sepuluh menit, aku menuliskan hal-hal yang perlu dilakukan, satu per satu. “Ini dia, kita bisa menyelesaikan semuanya satu langkah demi langkah,” ujarku dengan semangat. Menulis membuatku merasa lebih fokus, seolah-olah semua kekacauan di kepalaku mulai terurai satu per satu.
Ketika waktu terus berjalan, aku merasa lebih ringan. “Lihat, kita sudah mulai merapikan pikiran,” bisikku pada diri sendiri. “Nggak ada yang mustahil kalau kita mau memulainya.”
Dengan waktu yang tersisa, aku menutup mata sejenak dan membayangkan diriku berdiri di tepi pantai. Suara ombak dan angin membuatku merasa damai. “Kita butuh lebih banyak momen kayak gini,” kataku. “Momen untuk berhenti sejenak dan menikmati hidup.”
“Bayangkan, Dita,” suara dalam kepalaku melanjutkan, “kita bisa berjalan di sepanjang pantai, merasakan pasir di antara jari-jari kaki kita. Kita bisa mendengar suara ombak yang menenangkan.”
Ketika sepuluh menit berakhir, aku membuka mata dan melihat catatan kecil di tanganku. “Oke, kita bisa mulai dari sini,” kataku, merasa lebih siap menghadapi hari. Pikiran yang sebelumnya berantakan kini terasa lebih teratur.
“Terima kasih, Dita,” suara dalam kepalaku mengucapkan terima kasih. “Kita berhasil merapikan pikiran dalam sepuluh menit.”
Dengan semangat baru, aku kembali ke meja dan siap menghadapi tantangan berikutnya. Namun, sebelum melanjutkan pekerjaan, aku memutuskan untuk memberi diri sedikit waktu lagi. Aku mengambil secangkir teh hangat dan duduk di sofa, membiarkan pikiran-pikiran itu mengalir tanpa terburu-buru.
“Kadang-kadang, kita butuh lebih dari sekadar sepuluh menit, ya?” tanyaku pada diriku sendiri. “Mungkin kita perlu menjadwalkan waktu untuk diri sendiri lebih sering.”
“Benar! Kita bisa merencanakan waktu untuk relaksasi setiap minggu. Mungkin satu jam untuk membaca buku atau mendengarkan musik,” jawab suara itu, penuh antusiasme. “Atau bahkan menjadwalkan waktu untuk bermain gitar lagi.”
Aku mengangguk setuju. “Iya, itu ide yang bagus. Musik selalu bisa membawaku kembali ke tempat yang tenang.”
Dengan pikiran yang lebih jernih, aku mulai merencanakan minggu depan. “Mungkin kita bisa menambahkan sesi bermain musik di jadwal,” kataku. “Atau pergi ke kafe untuk menikmati waktu sendiri.”
Setelah beberapa saat, aku merasa lebih siap untuk kembali ke rutinitas. “Oke, Dita. Saatnya kita kembali bekerja,” kataku, bersemangat. “Tapi ingat, jangan lupa untuk memberi diri kita waktu istirahat.”
Aku kembali ke laptop, tetapi kali ini dengan semangat yang baru. Setiap ketikan terasa lebih ringan, dan ide-ide mengalir dengan lebih lancar. “Lihat, kita bisa melakukannya,” bisikku, merasa bangga pada diri sendiri.
Hari itu, aku belajar bahwa merapikan pikiran tidak selalu tentang menyelesaikan semua tugas sekaligus. Terkadang, yang kita butuhkan hanyalah sepuluh menit untuk berhenti, bernapas, dan berbicara dengan diri sendiri. Dan siapa tahu, mungkin dalam sepuluh menit itu, kita bisa menemukan kembali diri kita yang hilang di tengah kesibukan.