Titik Balik Untuk Dita
Hai, aku Dita! Aku mahasiswa semester akhir yang juga kerja paruh waktu di toko buku. Setiap hari, rasanya kayak ikut lomba maraton tanpa garis finis. Pagi-pagi aku udah harus berangkat ke kampus, habis itu langsung ke tempat kerja, dan malamnya, tugas-tugas kuliah udah menunggu dengan setia. Kadang, aku merasa kayak hamster yang lari di roda—capek, tapi nggak ke mana-mana.
Suatu hari, saat lagi nyusun buku di rak, aku merasa capek banget. Bukan cuma capek badan, tapi juga pikiran. Aku mulai mikir, “Sebenarnya, apa sih yang aku cari dari semua ini?” Di tengah kesibukan, aku merasa kehilangan arah. Seperti robot yang cuma jalan sesuai program tanpa tahu tujuan akhirnya.
Malam itu, setelah pulang kerja, aku memutuskan buat istirahat sebentar. Aku duduk di balkon apartemenku yang kecil, ngeliatin bintang-bintang di langit malam. Di situ, aku mulai ngobrol sama diri sendiri. Ya, percakapan imajiner yang sering kali jadi teman terbaik saat nggak ada orang lain yang bisa diajak bicara.
“Dita, apa yang sebenarnya kamu inginkan?” tanya suara dalam kepalaku.
“Aku pengen bahagia,” jawabku. “Tapi kenapa rasanya semua ini nggak cukup?”
“Karena kamu lupa sama hal-hal kecil yang bikin kamu bahagia,” balas suara itu penuh pengertian.
Aku terdiam sejenak, merenungkan kata-kata itu. Dalam keheningan malam, aku mulai nulis di jurnal—sesuatu yang udah lama banget nggak kulakuin. Menulis bikin aku merasa lega, kayak semua beban di pundak pelan-pelan terangkat. Lewat menulis, aku teringat sama hobiku yang udah lama terlupakan—main musik. Dulu, main gitar adalah cara aku buat mengekspresikan diri.
Dengan semangat baru, aku mutusin buat mulai main gitar lagi, meskipun cuma di akhir pekan. Setiap kali jemariku memetik senar, aku merasa lebih hidup dan lebih terhubung dengan diriku sendiri. Musik membawaku kembali ke masa-masa di mana aku bisa bebas mengekspresikan perasaan tanpa batas. Lagu-lagu lama yang dulu sering aku mainkan mulai terdengar lagi di kamarku, membawa nostalgia dan kebahagiaan tersendiri.
Seiring waktu, aku belajar buat lebih bijak dalam ngatur waktu. Aku mulai sadar pentingnya menjaga keseimbangan antara tanggung jawab dan kebutuhan pribadi. Meski jadwal masih padat, aku merasa lebih tenang dan bahagia karena aku tahu kapan harus berhenti sejenak dan menikmati waktu buat diriku sendiri. Aku mulai merencanakan akhir pekan dengan lebih baik, menyisihkan waktu khusus untuk diriku sendiri, entah itu dengan bermain musik, membaca buku, atau sekadar berjalan-jalan di taman.
Suatu hari, saat sedang bermain gitar di taman kota, aku bertemu dengan seseorang yang juga membawa gitarnya. Namanya Raka. Kami mulai ngobrol dan berbagi cerita tentang bagaimana musik membantu kami menemukan diri sendiri. Raka bilang, “Kadang, kita terlalu sibuk mengejar hal-hal besar sampai lupa sama kebahagiaan kecil yang ada di sekitar kita.”
Perkataan Raka benar-benar membuatku berpikir. Aku menyadari bahwa menemukan diri sendiri nggak selalu soal mencari sesuatu yang baru, tapi bisa juga tentang kembali ke hal-hal yang sudah ada dan mengapresiasinya lebih dalam. Sejak saat itu, aku dan Raka sering janjian buat main musik bareng. Kami berbagi lagu, cerita, dan tawa, membuat hari-hari terasa lebih ringan.
Pengalaman ini ngajarin aku bahwa menemukan diri sendiri di tengah kesibukan bukanlah hal yang mustahil. Kadang, kita cuma perlu meluangkan waktu buat merenung dan kembali ke hal-hal yang bikin kita bahagia. Jadi, buat kalian yang mungkin lagi merasa terjebak dalam rutinitas, coba deh berhenti sejenak. Cari tahu apa yang benar-benar berarti dalam hidup kalian. Siapa tahu, kalian bakal menemukan sisi diri yang selama ini tersembunyi, kayak yang aku temukan.
Dan sekarang, setiap kali aku merasa kewalahan, aku tahu aku punya tempat buat kembali—musik dan diriku sendiri. Itu adalah pelarian yang paling menenangkan di tengah hiruk pikuk kehidupan. Musik menjadi teman setia yang selalu ada, mengingatkanku untuk terus berhubungan dengan siapa diriku sebenarnya. Jadi, jangan takut untuk mencari dan menemukan dirimu di tengah segala kesibukan. Siapa tahu, di sana ada kebahagiaan yang selama ini kamu cari. Dan mungkin, seperti aku, kamu juga akan menemukan teman baru yang bisa berbagi perjalanan ini.
Bandung, September 2024
Pemayandhi